Senin, 21 Mei 2012
Soto Si Tjang, Ampenan
Senin, 16 April 2012

Huru Hara di Sekolah
Hari ini dimulai Ujian Akhir Nasional (UAN) untuk pelajar SLTA, setelah beberapa hari kemarin hampir di semua media massa baik cetak maupun elektronik memuat berita tentang berbagai “kehebohan” untuk menyambutnya. Ada doa bersama, istigotsah, gambar polisi bersenjata lengkap mengawal distribusi soal ( kayak ngawal kartu suara waktu pemilu ), unjuk rasa pelajar anti nyontek, juga ada himbauan pejabat pemerintah di koran untuk kesuksesan agenda ini.
Dalam hati saya muncul pertanyaan, sebesar dan sehebat apakah sebenarnya perubahan dan perkembangan pendidikan kita dewasa ini dibanding waktu – waktu lalu, sehingga agenda kenaikan jenjang pendidikan menjadi demikian hebohnya ?
Hampir dua puluh tajuh tahun yang lalu saya tamat sma. Dengan dua macam ujian yang dikenal dengan sebutan EBTA (Evaluasi Belajar Tahap Akhir), EBTA sekolah untuk beberapa mata pelajaran dan EBTA Nasional untuk beberapa yang lain, yang kemudian menghasilkan NEM (Nilai EBTANAS Murni). Tapi sama sekali nggak ada “huru – hara” seperti sekarang ini. Semua berjalan biasa – biasa saja. Hanya pada semester terakhir frekuensi belajar kelompok dengan teman – teman ditingkatkan, kalau dalam belajar kelompok itu ada soal yang tidak terpecahkan ya ditanyakan ke guru pengajarnya. Tapi nggak ada yang namanya pengayaan, atau bimbingan belajar yang pake mbayar ( apalagi kalau tutornya adalah juga guru di sekolah ). Kemudian sebelum hari H libur tenang beberapa hari, dan sampailah pada hari ujian itu. Tidak ada upacara doa atau sembahyang massal yang digelar di mana – mana, tidak ada polisi yang ikut ngawal – ngawal soal, tidak ada dosen perguruan tinggi yang ikut ngawas ujian. Juga tidak ada pejabat pemerintah yang keliling – keliling meninjau pelaksanaan ujian, apalagi sekelas bupati/walikota, biasanya yang keliling – keliling ya cuma para pejabat pengawas dari dinas pendidikan . Semua berjalan biasa – biasa saja.
Setelah huru – hara UAN ini, tidak lama lagi akan tergelar satu lagi kehebohan yang juga sudah menjadi rutin beberapa tahun terakhir ini, yaitu pendaftaran siswa baru. Ribuan orang tua baik yang anaknya mau masuk SD, SMP, maupun SMA, akan terkena pusaran kehebohan ini. Banyak pegawai yang harus meninggalkan kantor untuk datang ke sekolah ikut mendaftar dan memantau perkembangan, kemudian siap – siap mencari sekolah lain kalau nilai anaknya ternyata kurang memenuhi syarat. Banyak pengusaha yang anaknya manja terpaksa menunda berbagai transaksi bisnisnya karena harus mencari Kepala Sekolah atau pejabat yang bisa dititipi anaknya untuk masuk sekolah yang diinginkan. Berhari – hari kita lihat kerumunan dan keriuhan di sekolah – sekolah, terutama yang dianggap favorit, tidak hanya anak – anak tapi juga para orang tuanya. Tidak sedikit juga orang yang mendapat rejeki dadakan karena bisa menghubungkan orang tua yang punya uang tapi anaknya manja ( walupun nilainya rendah tapi tetep ngotot masuk sekolah yang dianggap top ) dengan Kepala Sekolah yang masih saja merasa kurang penghasilannya walaupun sudah dapat tunjangan sertifikasi guru, tunjangan jabatan, dan berbagai penghasilan sampingan lainnya.
Saya ingat dulu saya ketika mendaftar SMP saya lakoni bersama teman – teman sekelas di SD. Begitu pula ketika mendaftar untuk masuk SMA. Mereka yang diantar orang tuanya hanyalah teman – teman yang jarak rumahnya agak jauh dari sekolah, atau teman – teman yang baru pindah dari kota lain. Orang tua baru diperlukan ketika sekolah minta sumbangan di luar SPP, untuk bikin pagar sekolah, untuk perbaiki lapangan olah raga, atau untuk membeli alat – alat kesenian yang tidak ada anggaran dari pemerintah.
Sampai saat ini saya memang hanya orang biasa – biasa saja, tidak menjadi apa –apa. Tapi banyak teman sekolah yang sudah menjadi pengusaha besar, menjadi kepala daerah atau wakilnya, ketua dpr, wakil kepala dinas, kepala bidang di salah satu instansi pemerintah, perwira menengah di dinas militer / kepolisian, dan sebagainya. Mereka orang – orang yang dulu melewati masa – masa sekolah dengan biasa – biasa saja, tidak ada kehebohan dan huru – hara seperti sekarang ini. Beberapa keributan yang dulu dilewati adalah agenda - agenda yang menggembirakan seperti lomba dan pertandingan antar kelas ( class meeting ) sehabis penerimaan raport, atau lomba – lomba dan pertandingan antar sekolah ( PORSENI ), dan polisi hanya kita lihat terlibat dengan sekolah kalau ada penerangan tertib lalu lintas atau ada tawuran sekali - sekali.
Sehebat apakah kira – kira esok anak – anak kita ini, ketika bimbingan belajar hampir menjadi keharusan karena pelajaran di sekolah dirasa kurang, ketika penghormatan terhadap guru kian berkurang, ketika teknologi semakin memberi banyak cara untuk berbuat curang, dan kemandirian baru mereka pelajari ketika masuk perguruan tinggi.
Kehebatan seperti apa yang akan dihasilkan oleh pendidikan menengah yang penuh dengan kehebohan seperti sekarang ini ?
Kamis, 05 April 2012
BEKERJA DAN BERJUANG YANG MENJADI KEWAJIBAN KITA, SEMENTARA
HASIL DAN KESUKSESAN ADALAH URUSAN TUHAN
Malam Jum’at tanggal 5 April menjelang jam delapan di Jalan Airlangga Mataram. Seorang perempuan belia dengan dandanan yang modis khas anak muda di depan sebuah toko hp dengan sebuah mike di depan mulutnya. Dengan bahasa khas anak muda dia coba merayu orang yang lalu lalang di depannya. “ buat kamu yang doyan musik, hp baru ini menawarkan fiture dan system suara yang pasti pas di telinga kamu.. bla..bla..bla… . Beberapa saat saya amati, tidak satupun orang mendekatinya,tapi dia tetap asyik dengan celotehannya. Saya pun berlalu.
Sekitar setengah jam kemudian saya kembali melintas dan berhenti lagi beberapa jarak dari perempuan itu. Lalu lintas di depannya masih ramai, sementara beberapa orang pejalan kaki juga melintasinya, dan tak juga ada yang berhenti untuk merespon jualannya. Tapi perempuan itu tetap semangat, tetap dengan senyum ceria, dan dengan kelincahannya tetap berkicau menawarkan jualannya.
Sampai jarum jam di tangan saya menunjuk pada angka sembilan,baru perempuan itu menghentikan suaranya dan kemudian beberapa laki – laki membereskan berbagai piranti yang ada. Nampaknya toko itupun akan segera tutup.
Sepertinya perempuan muda itu dengan gaya dan kemampuannya telah dibayar untuk beberapa jam menjajakan berbagai model hp di toko itu. Penuh semangat dia jalani, walaupun lebih satu jam itu tidak satupun orang menanggapinya. Mungkin itu yang disebut kerja secara professional.
Di bagian jalan yang lain, sekitar empat ratus meter dari toko hp itu seorang laki – laki tua duduk mencangkung di atas trotoar jalan. Dengan baju dan kain sarung lusuh yang disandang, dan handuk kecil yang agak kotor tersampir di pundaknya. Beberapa batang sapu ijuk yang masih terikat rapi teronggok di sampingnya. Saya berhenti dan coba mengajaknya berbincang. Pak Saad namanya, usia memasuki kepala enam, dari Desa Gegerung, sekitar delapan kilometer arah timur laut Kota Mataram. Sejak jam sepuluh pagi dia keluar rumah, berkeliling kota menjajakan sapu ijuknya, dan sampai lebih jam sembilan malam itu baru satu batang sapu ijuknya yang dibeli orang dengan harga dua belas ribu rupiah. Sapu ijuk itu bukan dia sendiri yang membuat tapi tetangga di kampungnya, dan untuk satu batang yang sudah terjual dia mendapat keuntungan tiga ribu rupiah.
Di tengah obrolan dengan saya, sebuah mobil Kijang Innova berhenti. Seorang perempuan setengah baya turun dan mengulurkan selembar uang lima ribuan, tanpa membeli sapunya. Beberapa menit kemudian berhenti pula seorang laki – laki muda dari sepeda motornya, memberikan beberapa lembar uang seribuan bersama sebungkus nasi. “ Terima kasih banyak pak “ kata Pak Saad dengan sedikit binar matanya. “ Inilah rejeki saya hari ini pak” , ujar laki – laki tua itu kemudian pada saya. “ Namanya orang jualan,kadang dapat uang kadang juga tidak”, lanjutnya. Dari nada suaranya tidak saya temukan sedikitpun nada lelah dan keputusasaan. Padahal saya yakin, dia duduk di trotoar itu karena kelelahan setelah berkilo - kilo meter dia keliling dengan sapu ijuk yang dipikulnya. Yang saya dengar adalah sebuah kepasrahan atas rejeki dari ikhtiarnya hari ini.
Pak Saad dengan kemiskinan dan keluguannya tentu sangat berbeda dengan perempuan muda yang modis dan lincah di depan toko hp tadi. Perempuan itu masih punya banyak peluang untuk berkembang, berubah, dan berlari mengejar mimpi – mimpinya. Sementara bagi Pak Saad hanya berkeliling kota dengan memikul sapu ijuk yang dia tahu untuk mempertahankan hidupnya.
Tapi ada satu hal yang saya lihat sama di antara kedua orang itu. Keyakinan dan semangat untuk kerja, kerja dan kerja. Soal hasil dan rejeki Tuhan lah yang mengaturnya.Senin, 19 Maret 2012
SINGKONG DAN KEJU
Pada pertengahan tahun delapan puluhan sebuah group musik Bill & Broad sangat populer dengan lagu – lagu yang agak jenaka. Tetapi di tengah kejenakaan itu terkadang ada terselip makna & cerita yang cukup menarik untuk disimak. Salah satunya lagu Singkong dan Keju. Sebuah lagu yang bercerita tentang perbedaan strata sosial dalam masyarakat. Antara kaya dan miskin, papa dan berada, juga gaya hidup antara tradisional dan modern.
Suatu malam ketika saya jalan – jalan di kawasan pertokoan di Jalan Pejanggik, Cakranegara Mataram, mata saya tertambat pada satu sosok laki – laki tua yang tengah duduk mencangkung menunggui keranjang jualannya di teras salah satu toko roti & kue yang cukup besar. Momentum itu langsung mengingatkan saya pada lagu jadul Bill & Broad di atas. Tapi yang saya lihat ini bukan lagi sekedar kiasan, melainkan singkong dan keju dalam arti yang sebenar –benarnya. Laki – laki tua itu berjualan kacang rebus, jagung rebus, ubi dan singkong rebus, di depan sebuah toko roti yang penuh dengan aroma keju, entah bernama klapertaart, burger, brownies,etc.
Ada dua hal menarik yang muncul di benak saya memperhatikan bapak tua itu. Pertama, sekarang ini singkong dan keju tidak lagi harus diperhadapkan sebagai dua hal berbeda yang saling berkontradiksi. Bahkan salah satu camilan yang mulai populer dijajakan di jalanan adalah gorengan singkong berbumbu keju. Keduanya bisa menyatu dan bersinergi menciptakan rasa baru.
Begitu pula dalam berbagai lapangan yang lain. Kaya dan miskin, besar dan kecil, modern dan tradisional tidak harus berkontradiksi dan saling meniadakan. Dengan kesadaran dan pemahaman membangun sinergi dan win – win solution keduanya bisa saling melengkapi.
Kedua, saya kagum dan angkat topi pada semangat bapak tua penjual singkong rebus itu. Di tengah stigma tentang masyarakat yang malas, tidak mau kerja keras, bapak tua itu menunjukkan pada kita sosok yang berbeda.
Sabtu, 17 Maret 2012

SMALL IS BEAUTIFUL
Salah satu hambatan yang sering menekan keinginan seseorang untuk menjadi wirausahawan adalah malu ketika harus melakukan pekerjaan yang oleh sementara orang dianggap remeh, kasar , apalagi kotor atau membuat tangan blepotan. Masih banyak anak muda yang ter-obsesi bahwa bekerja adalah berpakaian rapi, baju berstrika halus, dan bersepatu. Terlebih bagi anak – anak muda yang doyan nonton sinetron, bayangannya tentang wirausahawan pun terpengaruh dengan karakter tokoh anak muda dengan profesi sebagai pengusaha yang sering muncul sebagai tokoh utamanya. Yang ganteng, berjas dan berdasi, dengan mobil mahal yang mengkilat. Walaupun ternyata dalam alur cerita yang diperankan hampir tidak pernah ngomongin jalannya usaha, tapi lebih banyak berkelahi soal harta warisan, rebutan pacar, atau perselingkuhan.
Terlebih bila kita perhatikan pola pikir instant yang banyak merasuki masyarakat dewasa ini. Seringkali segala sesuatu ingin dicapai dengan jalan yang mudah, cepat, tanpa kerja keras dan proses yang panjang.
Bagi seorang wirausahawan pemula, memulai dari yang kecil adalah sebuah langkah yang paling rasional. Walaupun mungkin keuntungan atau pendapatan awal yang diterima juga kecil, tapi kalau bisa tekun dalam menjalankan dan mengembangkannya, sabar, fokus, dan kreatif, maka pertumbuhan untuk menjadi besar hanyalah soal waktu saja. Apalagi kalau dalam skala kecil pun sudah bisa diterima pasar, maka perkembangannya pun tidak sulit. Termasuk bila usaha kecil itu adalah sebuah pekerjaan yang dianggap remeh.
Siang tadi setelah menyelesaikan sebuah urusan di Kabupaten Lombok Utara, dalam perjalanan pulang saya sempat berhenti untuk menikmati sate ikan yang banyak dijual di pinggir jalan di sekitar Pasar Tanjung. Sambil nunggu sate itu dibungkus saya pun ngobrol dengan penjualnya. Yang bikin saya kaget adalah informasi dari ibu penjual sate itu bahwa rata – rata penjualannya adalah empat ratus lima puluh sampai lima ratus ribu rupiah per hari. “ Kalau keuntungannya dua puluh lima persen berarti pendapatan ibu per hari bisa seratus lima puluh ribu rupiah dong.. “ Kalkulator di otak saya pun langsung menghitung perkiraan pendapatan ibu itu per bulan, empat sampai empat setengah juta rupiah. “ Ya lumayan pak.. bisa ngasih sangu bulanan anak sekolah di Mataram,” Jawab ibu itu. Rupanya anak ibu penjual sate itu ada yang sedang kuliah di salah satu perguruan tinggi di Mataram.
Di tangan ibu itu sate sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan belanja di rumah dan membiayai sekolah anaknya. Sudah bertahun – tahun dia berjualan, dan sampai hari ini masih dengan tampilan yang sama, rasa yang sama, juga skala usaha yang tetap.
Di tangan seorang anak muda yang kreatif dan berani, sangat mungkin sate ikan di pinggir jalan seperti itu akan berkembang menjadi sebuah rumah makan, produk kemasan yang dikirim ke luar daerah, atau bahkan menjadi icon pariwisata. Dan sebetulnya tidak hanya sate tapi bisa juga makanan yang lain, camilan, olahan hasil pertanian, kerajinan, produk seni, atau bahkan sampah, ketika bertemu dengan anak muda yang memiliki semangat wirausaha, berani dan berdaya juang , tekun, dan kreatif, bisa berubah menjadi sesuatu yang berharga, membanggakan, dan memberi manfaat bagi banyak orang.
Selasa, 13 Maret 2012
IKAN BAKAR INAQ SUR
Deretan perahu nelayan yang sedang tidak melaut berjajar pada hampir sepanjang garis pantai. Jajaran puluhan sampan yang tertambat dan rumah – rumah yang berhimpitan menandakan bahwa pantai ini merupakan kawasan pemukiman para nelayan, bukan tempat wisata. Namun pantai yang landai dengan hamparan pasir yang cukup bersih tetap nyaman dan menarik untuk didatangi para pengunjung yang ingin sekedar bersantai sejenak melepas lelah. Terutama pada sore menjelang malam, ketika matahari yang terbenam di ufuk barat menjadi pemandangan yang sungguh mempesona. Air laut yang biru telah berubah kelabu, berpadu warna kuning keemasan yang berkilau karena terpaan sinar matahari. Sementara warna langit yang biru tua dan awan putih yang berarak ditiup angin ke barat menjadi semakin indah tersoroti sinar matahari berwarna lembayung kemerahan. Sungguh komposisi warna alam yang menakjubkan. Membuat banyak orang yang berkunjung betah duduk di atas hamparan pasir menikmati semua itu, hingga tiba saat matahari tenggelam dengan sempurna dan semua berubah menjadi hitam.
Itulah perkampungan nelayan di Desa Montong Kecamatan Batulayar Kabupaten Lombok Barat, tepatnya di sekitar gapura ucapan selamat datang yang merupakan pintu gerbang memasuki kawasan wisata Senggigi.
Selain tenggelamnya matahari yang merupakan atraksi alam yang mempesona, ada lagi daya tarik yang membuat banyak orang sering berkunjung ke pantai ini, yaitu beberapa warung makan yang menyajikan ikan bakar sebagai menu utamanya. Warung – warung itu dibangun dengan sangat sederhana, berhimpit menyatu dengan tempat tinggal para penjualnya. Menunya pun sederhana pula, hanya ikan bakar dengan sambal tomat atau sambal kecap, kadang dilengkapi dengan beberuk , sayur bening atau pelecing kangkung. Kemudian untuk menyantapnya terdapat beberapa tempat yang bisa kita pilih, mau di meja, duduk bersila di balai – balai bambu, atau minta digelarkan tikar di atas pasir pantai. Walaupun menunya sederhana, tapi didukung dengan suasana pantai yang segar dan keramahan panjualnya serta harga yang sangat terjangkau, maka warung – warung sederhana itu telah memiliki banyak pelanggan yang cukup setia. Seperti penuturan Inaq Sur, salah satu pemilik warung makan di situ ketika saya ajak berbincang sambil menyiapkan makanan yang saya pesan. Berbagai kalangan menjadi pelanggannya sejak dia berjualan lebih sepuluh tahun lalu, baik kalangan bisnis, birokrat , politisi, baik yang datang sendiri atau bersama keluarga, maupun datang berombongan bersama para koleganya. Bahkan beberapa orang wisatawan asing yang sering berkunjung ke Lombok ada yang selalu menyempatkan diri bersantap di warungnya setiap kali datang.
Selesai saya menunaikan sholat maghrib di musholla sebelah warung, Inaq Sur telah menyelesaikan pekerjaannya. Di meja kayu yang bulat di bawah pohon waru di depan warungnya telah terhidang ikal tongkol bakar, sambal tomat, beberuk kacang panjang, sayur bening bayam dan jagung, juga irisan bawang merah dan cabai rawit dalam piring kecil yang bersama tuangan kecap manis pasti akan menyempurnakan kelezatan hidangan itu. Karena tidak ada pengunjung yang lain, setelah menghidangkan kopi buat suaminya Inaq Sur pun duduk sambil mengobrol menemani santap malam saya.
Sayup sayup terdengar suara serangga malam yang bersahut-sahutan di antara pohon-pohon kelapa dan ketapang di tepian pantai. Sementara di kejauhan lampu-lampu perahu nelayan yang tengah melaut tampak berkelap kelip bagai seribu kunang-kunang yang beterbangan. Dinginnya hembusan angin laut sedikit terlawan oleh pedasnya sambal tomat dan beberuk yang menghangatkan badan saya. Bintang – bintang di langit pun mulai bermunculan, mengiringi datangnya malam yang kian sempurna. Sesempurna kegembiraan saya pada rekreasi sederhana itu, setelah menikmati indahnya pesona atraksi alam dan lezatnya ikan bakar masakan Inaq Sur.