Senin, 16 April 2012


Huru Hara di Sekolah

Hari ini dimulai Ujian Akhir Nasional (UAN) untuk pelajar SLTA, setelah beberapa hari kemarin hampir di semua media massa baik cetak maupun elektronik memuat berita tentang berbagai “kehebohan” untuk menyambutnya. Ada doa bersama, istigotsah, gambar polisi bersenjata lengkap mengawal distribusi soal ( kayak ngawal kartu suara waktu pemilu ), unjuk rasa pelajar anti nyontek, juga ada himbauan pejabat pemerintah di koran untuk kesuksesan agenda ini.

Dalam hati saya muncul pertanyaan, sebesar dan sehebat apakah sebenarnya perubahan dan perkembangan pendidikan kita dewasa ini dibanding waktu – waktu lalu, sehingga agenda kenaikan jenjang pendidikan menjadi demikian hebohnya ?

Hampir dua puluh tajuh tahun yang lalu saya tamat sma. Dengan dua macam ujian yang dikenal dengan sebutan EBTA (Evaluasi Belajar Tahap Akhir), EBTA sekolah untuk beberapa mata pelajaran dan EBTA Nasional untuk beberapa yang lain, yang kemudian menghasilkan NEM (Nilai EBTANAS Murni). Tapi sama sekali nggak ada “huru – hara” seperti sekarang ini. Semua berjalan biasa – biasa saja. Hanya pada semester terakhir frekuensi belajar kelompok dengan teman – teman ditingkatkan, kalau dalam belajar kelompok itu ada soal yang tidak terpecahkan ya ditanyakan ke guru pengajarnya. Tapi nggak ada yang namanya pengayaan, atau bimbingan belajar yang pake mbayar ( apalagi kalau tutornya adalah juga guru di sekolah ). Kemudian sebelum hari H libur tenang beberapa hari, dan sampailah pada hari ujian itu. Tidak ada upacara doa atau sembahyang massal yang digelar di mana – mana, tidak ada polisi yang ikut ngawal – ngawal soal, tidak ada dosen perguruan tinggi yang ikut ngawas ujian. Juga tidak ada pejabat pemerintah yang keliling – keliling meninjau pelaksanaan ujian, apalagi sekelas bupati/walikota, biasanya yang keliling – keliling ya cuma para pejabat pengawas dari dinas pendidikan . Semua berjalan biasa – biasa saja.

Setelah huru – hara UAN ini, tidak lama lagi akan tergelar satu lagi kehebohan yang juga sudah menjadi rutin beberapa tahun terakhir ini, yaitu pendaftaran siswa baru. Ribuan orang tua baik yang anaknya mau masuk SD, SMP, maupun SMA, akan terkena pusaran kehebohan ini. Banyak pegawai yang harus meninggalkan kantor untuk datang ke sekolah ikut mendaftar dan memantau perkembangan, kemudian siap – siap mencari sekolah lain kalau nilai anaknya ternyata kurang memenuhi syarat. Banyak pengusaha yang anaknya manja terpaksa menunda berbagai transaksi bisnisnya karena harus mencari Kepala Sekolah atau pejabat yang bisa dititipi anaknya untuk masuk sekolah yang diinginkan. Berhari – hari kita lihat kerumunan dan keriuhan di sekolah – sekolah, terutama yang dianggap favorit, tidak hanya anak – anak tapi juga para orang tuanya. Tidak sedikit juga orang yang mendapat rejeki dadakan karena bisa menghubungkan orang tua yang punya uang tapi anaknya manja ( walupun nilainya rendah tapi tetep ngotot masuk sekolah yang dianggap top ) dengan Kepala Sekolah yang masih saja merasa kurang penghasilannya walaupun sudah dapat tunjangan sertifikasi guru, tunjangan jabatan, dan berbagai penghasilan sampingan lainnya.

Saya ingat dulu saya ketika mendaftar SMP saya lakoni bersama teman – teman sekelas di SD. Begitu pula ketika mendaftar untuk masuk SMA. Mereka yang diantar orang tuanya hanyalah teman – teman yang jarak rumahnya agak jauh dari sekolah, atau teman – teman yang baru pindah dari kota lain. Orang tua baru diperlukan ketika sekolah minta sumbangan di luar SPP, untuk bikin pagar sekolah, untuk perbaiki lapangan olah raga, atau untuk membeli alat – alat kesenian yang tidak ada anggaran dari pemerintah.

Sampai saat ini saya memang hanya orang biasa – biasa saja, tidak menjadi apa –apa. Tapi banyak teman sekolah yang sudah menjadi pengusaha besar, menjadi kepala daerah atau wakilnya, ketua dpr, wakil kepala dinas, kepala bidang di salah satu instansi pemerintah, perwira menengah di dinas militer / kepolisian, dan sebagainya. Mereka orang – orang yang dulu melewati masa – masa sekolah dengan biasa – biasa saja, tidak ada kehebohan dan huru – hara seperti sekarang ini. Beberapa keributan yang dulu dilewati adalah agenda - agenda yang menggembirakan seperti lomba dan pertandingan antar kelas ( class meeting ) sehabis penerimaan raport, atau lomba – lomba dan pertandingan antar sekolah ( PORSENI ), dan polisi hanya kita lihat terlibat dengan sekolah kalau ada penerangan tertib lalu lintas atau ada tawuran sekali - sekali.

Sehebat apakah kira – kira esok anak – anak kita ini, ketika bimbingan belajar hampir menjadi keharusan karena pelajaran di sekolah dirasa kurang, ketika penghormatan terhadap guru kian berkurang, ketika teknologi semakin memberi banyak cara untuk berbuat curang, dan kemandirian baru mereka pelajari ketika masuk perguruan tinggi.

Kehebatan seperti apa yang akan dihasilkan oleh pendidikan menengah yang penuh dengan kehebohan seperti sekarang ini ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar