Senin, 19 Maret 2012


SINGKONG DAN KEJU

Pada pertengahan tahun delapan puluhan sebuah group musik Bill & Broad sangat populer dengan lagu – lagu yang agak jenaka. Tetapi di tengah kejenakaan itu terkadang ada terselip makna & cerita yang cukup menarik untuk disimak. Salah satunya lagu Singkong dan Keju. Sebuah lagu yang bercerita tentang perbedaan strata sosial dalam masyarakat. Antara kaya dan miskin, papa dan berada, juga gaya hidup antara tradisional dan modern.

Suatu malam ketika saya jalan – jalan di kawasan pertokoan di Jalan Pejanggik, Cakranegara Mataram, mata saya tertambat pada satu sosok laki – laki tua yang tengah duduk mencangkung menunggui keranjang jualannya di teras salah satu toko roti & kue yang cukup besar. Momentum itu langsung mengingatkan saya pada lagu jadul Bill & Broad di atas. Tapi yang saya lihat ini bukan lagi sekedar kiasan, melainkan singkong dan keju dalam arti yang sebenar –benarnya. Laki – laki tua itu berjualan kacang rebus, jagung rebus, ubi dan singkong rebus, di depan sebuah toko roti yang penuh dengan aroma keju, entah bernama klapertaart, burger, brownies,etc.

Ada dua hal menarik yang muncul di benak saya memperhatikan bapak tua itu. Pertama, sekarang ini singkong dan keju tidak lagi harus diperhadapkan sebagai dua hal berbeda yang saling berkontradiksi. Bahkan salah satu camilan yang mulai populer dijajakan di jalanan adalah gorengan singkong berbumbu keju. Keduanya bisa menyatu dan bersinergi menciptakan rasa baru.

Begitu pula dalam berbagai lapangan yang lain. Kaya dan miskin, besar dan kecil, modern dan tradisional tidak harus berkontradiksi dan saling meniadakan. Dengan kesadaran dan pemahaman membangun sinergi dan win – win solution keduanya bisa saling melengkapi.

Kedua, saya kagum dan angkat topi pada semangat bapak tua penjual singkong rebus itu. Di tengah stigma tentang masyarakat yang malas, tidak mau kerja keras, bapak tua itu menunjukkan pada kita sosok yang berbeda.

Sabtu, 17 Maret 2012


SMALL IS BEAUTIFUL

Salah satu hambatan yang sering menekan keinginan seseorang untuk menjadi wirausahawan adalah malu ketika harus melakukan pekerjaan yang oleh sementara orang dianggap remeh, kasar , apalagi kotor atau membuat tangan blepotan. Masih banyak anak muda yang ter-obsesi bahwa bekerja adalah berpakaian rapi, baju berstrika halus, dan bersepatu. Terlebih bagi anak – anak muda yang doyan nonton sinetron, bayangannya tentang wirausahawan pun terpengaruh dengan karakter tokoh anak muda dengan profesi sebagai pengusaha yang sering muncul sebagai tokoh utamanya. Yang ganteng, berjas dan berdasi, dengan mobil mahal yang mengkilat. Walaupun ternyata dalam alur cerita yang diperankan hampir tidak pernah ngomongin jalannya usaha, tapi lebih banyak berkelahi soal harta warisan, rebutan pacar, atau perselingkuhan.

Terlebih bila kita perhatikan pola pikir instant yang banyak merasuki masyarakat dewasa ini. Seringkali segala sesuatu ingin dicapai dengan jalan yang mudah, cepat, tanpa kerja keras dan proses yang panjang.

Bagi seorang wirausahawan pemula, memulai dari yang kecil adalah sebuah langkah yang paling rasional. Walaupun mungkin keuntungan atau pendapatan awal yang diterima juga kecil, tapi kalau bisa tekun dalam menjalankan dan mengembangkannya, sabar, fokus, dan kreatif, maka pertumbuhan untuk menjadi besar hanyalah soal waktu saja. Apalagi kalau dalam skala kecil pun sudah bisa diterima pasar, maka perkembangannya pun tidak sulit. Termasuk bila usaha kecil itu adalah sebuah pekerjaan yang dianggap remeh.

Siang tadi setelah menyelesaikan sebuah urusan di Kabupaten Lombok Utara, dalam perjalanan pulang saya sempat berhenti untuk menikmati sate ikan yang banyak dijual di pinggir jalan di sekitar Pasar Tanjung. Sambil nunggu sate itu dibungkus saya pun ngobrol dengan penjualnya. Yang bikin saya kaget adalah informasi dari ibu penjual sate itu bahwa rata – rata penjualannya adalah empat ratus lima puluh sampai lima ratus ribu rupiah per hari. “ Kalau keuntungannya dua puluh lima persen berarti pendapatan ibu per hari bisa seratus lima puluh ribu rupiah dong.. “ Kalkulator di otak saya pun langsung menghitung perkiraan pendapatan ibu itu per bulan, empat sampai empat setengah juta rupiah. “ Ya lumayan pak.. bisa ngasih sangu bulanan anak sekolah di Mataram,” Jawab ibu itu. Rupanya anak ibu penjual sate itu ada yang sedang kuliah di salah satu perguruan tinggi di Mataram.

Di tangan ibu itu sate sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan belanja di rumah dan membiayai sekolah anaknya. Sudah bertahun – tahun dia berjualan, dan sampai hari ini masih dengan tampilan yang sama, rasa yang sama, juga skala usaha yang tetap.

Di tangan seorang anak muda yang kreatif dan berani, sangat mungkin sate ikan di pinggir jalan seperti itu akan berkembang menjadi sebuah rumah makan, produk kemasan yang dikirim ke luar daerah, atau bahkan menjadi icon pariwisata. Dan sebetulnya tidak hanya sate tapi bisa juga makanan yang lain, camilan, olahan hasil pertanian, kerajinan, produk seni, atau bahkan sampah, ketika bertemu dengan anak muda yang memiliki semangat wirausaha, berani dan berdaya juang , tekun, dan kreatif, bisa berubah menjadi sesuatu yang berharga, membanggakan, dan memberi manfaat bagi banyak orang.

Selasa, 13 Maret 2012

IKAN BAKAR INAQ SUR


Deretan perahu nelayan yang sedang tidak melaut berjajar pada hampir sepanjang garis pantai. Jajaran puluhan sampan yang tertambat dan rumah – rumah yang berhimpitan menandakan bahwa pantai ini merupakan kawasan pemukiman para nelayan, bukan tempat wisata. Namun pantai yang landai dengan hamparan pasir yang cukup bersih tetap nyaman dan menarik untuk didatangi para pengunjung yang ingin sekedar bersantai sejenak melepas lelah. Terutama pada sore menjelang malam, ketika matahari yang terbenam di ufuk barat menjadi pemandangan yang sungguh mempesona. Air laut yang biru telah berubah kelabu, berpadu warna kuning keemasan yang berkilau karena terpaan sinar matahari. Sementara warna langit yang biru tua dan awan putih yang berarak ditiup angin ke barat menjadi semakin indah tersoroti sinar matahari berwarna lembayung kemerahan. Sungguh komposisi warna alam yang menakjubkan. Membuat banyak orang yang berkunjung betah duduk di atas hamparan pasir menikmati semua itu, hingga tiba saat matahari tenggelam dengan sempurna dan semua berubah menjadi hitam.

Itulah perkampungan nelayan di Desa Montong Kecamatan Batulayar Kabupaten Lombok Barat, tepatnya di sekitar gapura ucapan selamat datang yang merupakan pintu gerbang memasuki kawasan wisata Senggigi.

Selain tenggelamnya matahari yang merupakan atraksi alam yang mempesona, ada lagi daya tarik yang membuat banyak orang sering berkunjung ke pantai ini, yaitu beberapa warung makan yang menyajikan ikan bakar sebagai menu utamanya. Warung – warung itu dibangun dengan sangat sederhana, berhimpit menyatu dengan tempat tinggal para penjualnya. Menunya pun sederhana pula, hanya ikan bakar dengan sambal tomat atau sambal kecap, kadang dilengkapi dengan beberuk , sayur bening atau pelecing kangkung. Kemudian untuk menyantapnya terdapat beberapa tempat yang bisa kita pilih, mau di meja, duduk bersila di balai – balai bambu, atau minta digelarkan tikar di atas pasir pantai. Walaupun menunya sederhana, tapi didukung dengan suasana pantai yang segar dan keramahan panjualnya serta harga yang sangat terjangkau, maka warung – warung sederhana itu telah memiliki banyak pelanggan yang cukup setia. Seperti penuturan Inaq Sur, salah satu pemilik warung makan di situ ketika saya ajak berbincang sambil menyiapkan makanan yang saya pesan. Berbagai kalangan menjadi pelanggannya sejak dia berjualan lebih sepuluh tahun lalu, baik kalangan bisnis, birokrat , politisi, baik yang datang sendiri atau bersama keluarga, maupun datang berombongan bersama para koleganya. Bahkan beberapa orang wisatawan asing yang sering berkunjung ke Lombok ada yang selalu menyempatkan diri bersantap di warungnya setiap kali datang.

Selesai saya menunaikan sholat maghrib di musholla sebelah warung, Inaq Sur telah menyelesaikan pekerjaannya. Di meja kayu yang bulat di bawah pohon waru di depan warungnya telah terhidang ikal tongkol bakar, sambal tomat, beberuk kacang panjang, sayur bening bayam dan jagung, juga irisan bawang merah dan cabai rawit dalam piring kecil yang bersama tuangan kecap manis pasti akan menyempurnakan kelezatan hidangan itu. Karena tidak ada pengunjung yang lain, setelah menghidangkan kopi buat suaminya Inaq Sur pun duduk sambil mengobrol menemani santap malam saya.

Sayup sayup terdengar suara serangga malam yang bersahut-sahutan di antara pohon-pohon kelapa dan ketapang di tepian pantai. Sementara di kejauhan lampu-lampu perahu nelayan yang tengah melaut tampak berkelap kelip bagai seribu kunang-kunang yang beterbangan. Dinginnya hembusan angin laut sedikit terlawan oleh pedasnya sambal tomat dan beberuk yang menghangatkan badan saya. Bintang – bintang di langit pun mulai bermunculan, mengiringi datangnya malam yang kian sempurna. Sesempurna kegembiraan saya pada rekreasi sederhana itu, setelah menikmati indahnya pesona atraksi alam dan lezatnya ikan bakar masakan Inaq Sur.

Senin, 05 Maret 2012

SERABI INAQ HALIMAH

SERABI INAQ HALIMAH


Berbeda dengan banyak serabi di Mataram yang dicetak dengan ukuran kecil, serabi yang ini lebih besar, walaupun juga tidak selebar serabi Solo. Ukuran diameter serabi ini sekitar 5 – 6 cm, dengan ketebalan sekitar 2 cm. Perbedaan lainnya, di Mataram serabi adalah teman minum teh atau kopi pada pagi hari. Sementara penjual serabi yang satu ini baru mulai menjajakan dagangannya pada sekitar pukul sepuluh atau sebelas siang, dan biasanya akan habis dibeli para pelanggannya menjelang tiba sore hari. Dari sisi rasa, sering kita temukan serabi yang dihidangkan dengan siraman gula merah cair sehingga rasanya manis, yang tak jarang kita santap bersama jajan pasar yang lain. Sementara serabi yang satu ini menawarkan rasa gurih dari santan kelapa kental yang menjadi campuran tepung beras sebagai bahan utamanya, yang sungguh nikmat dan pas di lidah.
Dipanggang tidak terlalu lama di atas tungku dengan api dari kayu yang juga tidak terlalu besar, menghasilkan serabi dengan tiga lapisan kekenyalan yang berbeda. Pada bagian paling atas adalah bagian yang belum sempurna kematangannya, sehingga ketika kita gigit terasa creamy dan lumer di mulut kita. Kemudian di bawahnya kira rasakan bagian yang lebih matang namun tetap lembut di lidah, bahkan bagian paling bawah pun tidak terlalu keras dan tidak gosong. Perpaduan ketiga tekstur tersebut ditambah dengan rasa gurih santan kelapa yang membalutinya sungguh tepat, tidak perlu lagi siraman gula merah cair di atasnya, karena justru rasa gurihnya yang membuat serabi ini menjadi istimewa.
Itulah serabi Inaq Halimah, yang bisa kita temukan setiap hari di salah satu sudut Pasar Keruak bagian selatan Kabupaten Lombok Timur. Di antara bau tajam ikan pindang, terasi, dan berbagai jenis hasil laut lainnya, keberadaan Inaq Halimah dengan serabinya memang menjadikannya sesuatu yang sangat berbeda. Dengan harga yang tidak menguras dompet yaitu hanya Rp 1.000,- untuk satu tangkup atau dua potong, membuat serabi Inaq Halimah ini selalu dikangeni oleh para pelanggannya. Setelah hampir tiga puluh tahun berjualan dan mampu menjadikan salah satu anaknya sebagai sarjana, sampai hari ini Inaq Halimah masih setia dengan pemanggang yang sekali bakar menghasilkan delapan potong serabi, tungku dan kayu bakar, mengolah sembilan atau sepuluh kilogram tepung beras bersama beberapa butir kelapa setiap harinya, berbaur dengan pedagang berbagai macam ikan laut di salah satu sudut pasar hasil laut terbesar di Pulau Lombok.
Jadi kalau tengah memborong ikan, cum-cumi. udang, ataupun terasi di Pasar Keruak, jangan lupa sempatkan menikmati serabi gurih Inaq Halimah. Setelah dibungkus daun pisang bisa kita bawa ke salah satu warung kopi di sudut lain pasar, atau sebagai bekal untuk kita nikmati di perjalanan.

Mataram, 5 Maret 2012